Cinta dan benci karena Allah. Dengan kecintaan semacam itulah seorang
hamba akan bisa meraih manisnya iman. Setiap mukmin tentu mencintai
Allah. Karena Allah lah yang paling berjasa kepada umat manusia dan alam
semesta seluruhnya. Konsekuensi dari kecintaannya kepada Allah adalah
dia akan mencintai apa yang Allah cintai dan membenci apa yang Allah
benci. Maka, dia akan mencintai keimanan, ketaatan, dan sunnah.
Sebagaimana dia akan membenci kekafiran, kemaksiatan, dan bid’ah.
Oleh sebab itu orang yang beriman (bertauhid) akan mencintai orang
beriman yang lain. Dan sosok yang paling layak dia cintai adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesudah itu, adalah para Sahabat radhiyallahu’anhum;
sebab merekalah yang mengantarkan kepada kita risalah Islam ini dalam
keadaan terang-benderang sebagaimana diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Konsekuensi Keimanan
Wajib bagi orang beriman untuk mencintai tauhid dan membenci syirik.
Mencintai ahli tauhid dan membenci ahli syirik. Inilah ajaran para nabi
dan rasul kepada umatnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sungguh telah ada teladan yang baik untuk kalian pada diri Ibrahim dan
orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya;
Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian
sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian, dan telah jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah saja…”(QS. al-Mumtahanah: 4).
Konsekuensi dari hal itu juga adalah dengan mencintai Nabi karena
beliaulah orang yang menjadi pemimpin umat yang bertauhid. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah
beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada
orang tua dan anaknya.” (HR. Bukhari)
Suatu ketika, Abdullah putra Abdullah bin Ubay bin Salul -gembong munafikin- duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika itu beliau sedang minum. Abdullah berkata kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, tidakkah anda sisakan air minum anda untuk kuberikan kepada
ayahku? Mudah-mudahan Allah membersihkan hatinya dengan air itu.” Nabi
pun menyisakan air minum beliau untuknya. Lalu Abdullah datang menemui
ayahnya. Ayahnya pun bertanya kepada sang anak, “Apa ini?”. Abdullah
menjawab, “Itu adalah sisa minuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku
membawakannya untukmu agar engkau meminumnya. Mudah-mudahan Allah
membersihkan hatimu dengannya.” Sang ayah berkata kepada, “Mengapa kamu
tidak bawakan saja kepadaku air kencing ibumu, itu lebih suci bagiku
daripada bekas air minum itu.” Maka dia -Abdullah- pun marah dan melapor
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah!
Apakah anda mengizinkan aku untuk membunuh ayahku?”. Nabi menjawab,
“Jangan, hendaknya kamu bersikap lembut dan berbuat baik kepadanya.”
(lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 54)
Cinta Kepada Allah dan Rasul-Nya
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menceritakan, suatu ketika seorang Arab Badui berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan hari kiamat terjadi?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadanya, “Apa yang kamu persiapkan untuk menghadapinya?”. Ia
menjawab, “Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Nabi bersabda, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.”
Anas berkata, “Tidaklah kami bergembira setelah masuk Islam dengan
kegembiraan yang lebih besar selain tatkala mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kamu
akan bersama dengan orang yang kamu cintai.” Maka aku mencintai Allah,
Rasul-Nya, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap bersama mereka -di akherat-
meskipun aku tidak bisa beramal seperti mereka.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa kecintaan yang bermanfaat itu meliputi:
- Cinta kepada Allah -yang sejati, bukan sekedar klaim/omong kosong-,
- Mencintai apa saja yang Allah cintai,
- Cinta terhadap sesuatu atau seseorang karena Allah (hubb lillah wa fillah) (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 97 dan ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 214)
Kecintaan kepada Allah harus dibuktikan dengan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku.” (QS. Ali Imran: 31)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya –subhanahu wa ta’ala– ialah dengan melakukan ketaatan kepada-Nya dan tidak menyelisihi aturan-Nya, demikian pula halnya kecintaan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/96])
Mencintai Para Sahabat Nabi
Dari Anas radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar dan tanda
kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami [Ahlus Sunnah] mencintai sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun, kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah seorang di
antara mereka. Kami juga tidak berlepas diri/membenci terhadap seorang
pun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka, dan juga
orang-orang yang menjelek-jelekkan mereka. Kami tidak menceritakan
keberadaan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah
ajaran agama, bagian dari keimanan, dan bentuk ihsan. Adapun membenci
mereka adalah kekafiran, sikap munafik dan melampaui batas/ekstrim.”
(lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 467 oleh Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi)
Bekal Menggapai Manisnya Iman
Dari Anas radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang ketiganya ada pada
dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman: barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya, barangsiapa yang mencintai seorang hamba dan tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah,
dan barangsiapa yang benci kembali kepada kekafiran setelah Allah
menyelamatkan dirinya dari kekafiran itu sebagaimana dia tidak suka
dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah
semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan kepada-Nya. Bahkan,
itulah hakikat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta
seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya
harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga
rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya
dan menjadi penentu atasnya (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Mendapat Naungan Allah Pada Hari Kiamat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari
tiada naungan kecuali naungan dari-Nya. Seorang pemimpin yang adil.
Pemuda yang tumbuh dalam ketaatan beribadah kepada Allah. Seorang lelaki
yang hatinya bergantung di masjid. Dua orang lelaki yang saling mencintai karena Allah;
mereka bertemu dan berpisah karena-Nya. Seorang lelaki yang diajak
[berbuat keji] oleh perempuan yang berkedudukan serta berparas cantik,
lantas dia berkata: ‘Aku takut kepada Allah.’ Seorang lelaki yang
bersedekah seraya dia sembunyikan sampai-sampai tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya. Dan seorang lelaki
yang berdzikir/mengingat Allah dalam keadaan sendirian lalu mengalirlah
air matanya.” (HR. Bukhari 660 dan Muslim 1031)
Wallahu a’lam bish shawaab.
Komentar
Posting Komentar